Minggu, 27 Oktober 2013

RIBA

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
(Dimuat dalam Jurnal MILLAH Jurnal Studi Agama Vol II No. 2 Thn. 2002)
Rahmani Timorita Yulianti*
Abstrak
Menurut istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum ada benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Konsep riba seperti tersebut di atas (dalam praktik sehari-hari sering disebut bunga uang atau rente) sudah dipraktikkan sejak jaman Romawi, Yunani, Jahiliyah bahkan setelah Islam datang pun pengambilan bunga uang masih dilakukan oleh masyarakat, yang dulunya bersifat social ethic sekarang berubah menjadi social economicDalam hal pelarangan pengambilan bunga uang, selain Islam agama Yahudi dan Nasrani juga tidak memperbolehkan umatnya melakukan praktik riba. Pengharaman ini dapat dilihat dalam Kitab suci Al Qur’an, Al Hadis serta kitab suci umat Yahudi dan Nasrani. Pengharaman praktik riba tersebut sedemikian keras, karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh riba baik dari segi moral-spiritual, sosial kemasyarakatan dan dampak ekonomi. Dalam perspektif ekonomi Islam sudah saatnya sistem ekonomi ribawi ditinggalkan, karena hanya akan membuat roda perekonomian tidak stabil dan semakin terpuruk, yang disebabkan karena sifat riba yang self destructif. Oleh karena itu ekonomi Islam menawarkan dan mendorong kepada umat manusia untuk melakukan usaha nyata dan produktif dengan melakukan investasi dan meninggalkan riba.

A.        Pendahuluan
          Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997, telah menjadi krisis yang bersifat multidimensi karena merupakan kombinasi dari krisis ekonomi, finansial, politik dan sosial sekaligus. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu, tiba-tiba anjlok secara drastis menjadi minus 15% di tahun 1998 atau terjun sebesar 22%. Implikasinya adalah inflasi yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha.[1]
                  Perkembangan selanjutnya krisis tersebut semakin parah. Salah satu penyebabnya adalah penaikan suku bunga SBI yang semakin membubung tinggi, sehingga berdampak lebih luas dan fatal bagi seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif selama tahun 1998 dan diperkirakan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
                  Tingkat suku bunga yang demikian tinggi, tidak memungkinkan pengusaha untuk membayarnya. Tetapi karena pengusaha memerlukan likuiditas, kredit berbunga tinggi pun diambilnya juga. Ketidakmampuan pengusaha membayar kembali kreditnya menimbulkan terjadinya kredit macet dalam jumlah besar. Dengan demikian bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu, eksistensinya terancam. Hal ini disebabkan karena, di satu sisi bank harus mem­bayar bunga deposito yang tinggi, sedang di sisi lain pendapatan anjlok karena kredit macet. Oleh karena itu, negative spread yang diderita oleh bank-bank itu sangat besar. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, kini hanya tinggal kurang lebih 73bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[2]
                  Sistem perbankan dewasa ini nyaris hancur sebagai akibat dari tingginya tingkat bunga perbankan yang tidak akan mampu dibayar oleh sektor apapun. Dengan kondisi seperti itulah maka muncul kebutuhan akan lembaga keuangan alternatif yang dapat menerobos kendala tersebut. Karena fakta empirik perbankan konvensional ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem negatif spread yang semata-mata bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive sehingga mengakibatkan labilitas ekonomi. Bagaimana sebenarnya hakikat riba yang penerapannya dalam ekonomi konvensional sebagai bunga uang (interest)?
                  Pada tulisan-tulisan terdahulu telah banyak pakar yang menulis tentang riba. Tetapi mereka menyorotinya dari sudut pandang Fiqih, sosial budaya, historis, agama, moral spiritual dan perspektif non muslim. Sedangkan tulisan ini lebih spesifik mengkaji tentang riba baik pada dataran konsep ataupun praktik pembangunan uang dalam perspektif ekonomi Islam. Sehingga dari kajian tersebut dapat diketahui implikasi praktik riba pada kehidupan perekonomian.
                  Dengan berbagai keterbatasan, dalam tulisan sederhana ini didiskripsikan tentang konsep dan praktik riba dalam masyarakat dengan mengacu kepada teori pembenar riba dan menganalisanya dari perspektif ekonomi. Selanjutnya penulis menawarkan bahwa sistem ekonomi Islam semestinya bukan merupakan salah satu alternatif pilihan, melainkan satu-satunya pilihan sistem ekonomi yang mengajak kepada masyarakat untuk berperilaku produktif.

B.        Sejarah Munculnya Praktik Riba
                  Riba secara etimologis bermakna kelebihan atau tambahan, ulama fikih mendefinisikan riba dengan, kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.[3] Yang dimaksudkan di sini adalah tambahan terhadap modal yang  timbul akibat suatu transaksi utang-piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
                  Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalah dalam Islam.
                  Dalam ilmu ekonomi pada umumnya riba adalah sinonim dengan bunga uang (rente) yang muncul dari sejumlah uang pokok, yang lazim disebut dengan istilah kapital atau modal berupa uang. Dalam hal ini bunga uang disebut juga dengan rente atau interest yaitu penggantian kerugian yang diterima oleh yang empunya modal uang untuk menyerahkan penggunaan modal itu.[4]
                  Modal uang itu oleh orang dapat dipergunakan, baik untuk keperluan produksi maupun untuk keperluan konsumsi. Peminjaman modal untuk keperluan konsumsi harus dibayar bunganya. Dalam perspektive ekonomi rasionalisasinya adalah dengan dipinjamkannya modal uang untuk keperluan konsumsi maka akan berkuranglah jumlah modal uang untuk keperluan produksi. Dalam pengertian di atas, bunga tersebut dianggap orang sebagai harga yang harus dibayar untuk penggunaan modal uang.[5] Pendapat ini dikuatkan oleh Taher Ibrahim bahwa bunga uang atau interest adalah harga dari alat produksi modal.[6]
                  Di kalangan ahli fikih pun terdapat berbagai definisi tentang riba. Badr ad-Din al-Ayni, mengatakan bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[7] Imam Sarakhsi, Qatadah, Raghib al-Asfahani dan lain-lain berpendapat sama tentang riba yaitu yang mengandung tiga unsur:
a)   Kelebihan dari pokok pinjaman
b)   Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran
c)   Jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi.[8]
Berdasar kepada kriteria di atas, maka setiap transaksi yang mengandung tiga unsur tersebut dinamakan riba.
                  Masalah riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam saja, tetapi menjadi permasalahan serius bagi berbagai kalangan di luar Islam. Oleh karena itu kajian terhadap masalah riba dapat ditelusuri mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan di kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi, hingga zaman modern. Praktek-praktek pemungutan bunga uang ini sesuai dengan dinamika masyarakat serta pertum­buhan dan perkembangan zaman, berangsur-angsur setahap demi setahap mengalami evolusi dan perubahan.
                  Pada zaman Yunani sekitar abad VI sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya.
Secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai pinjaman biasa (6% - 18%), pinjaman properti (6% - 12%), pinjaman antarkota (7% - 12%), dan pinjaman perdagangan dan industri (12% - 18%).[9]
                  Pada masa Romawi sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat Undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun Undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).[10]
                  Walaupun pada masa Unciaria (88 SM) praktik pengambilan bunga diperbolehkan kembali, yang sebelumnya dilarang oleh Genucia (342 SM), praktek riba ini dicela oleh para ahli filsafat Yunani seperti Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322 SM). Demikian juga para filosof Romawi seperti Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM).[11] Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktek pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan oleh para filosof Yunani. Mereka menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji, karena menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
                  Demikian keadaan benua Eropa pada waktu itu, larangan praktek pemungutan bunga dari pihak gereja dapat bertahan berabad-abad lamanya, walaupun muncul berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh tidaknya orang Islam mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I - XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI yang mempunyai keinginan agar pengambilan bunga diperbolehkan dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan pengambilan bunga, sehubungan dengan kemajuan baru dalam perekonomian.[12] Hal ini terjadi karena munculnya kapitalisme yang berhasil merubah praktek pemungutan bunga dari corak sosial etis menjadi sosial ekonomi.[13] Sehingga orang yang meminjam modal bukan lagi semata-mata orang miskin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendesak seperti jaman dahulu, melainkan untuk memperbesar produksi atau untuk mencari keuntungan.
                  Dalam sejarah Islam, penggunaan uang tabungan yang disimpan masyarakat Yahudi dengan pengembalian utang yang dilebihkan dari yang diutangkan (Riba atau Usury Loan) sudah dilakukan sebelum kedatangan Islam.
Pada saat itu, perdagangan sangat membutuhkan modal sehingga menciptakan permintaan akan pinjaman yang memerlukan pelunasan uang yang diterima lebih besar dari yang diutangkan. Jenis riba yang kedua, yang dilakukan oleh masya­rakat Yahudi adalah transaksi riba. Hal ini dilakukan pedagang dengan me­nukar­kan barangnya dengan barang yang sama dengan jumlah yang lebih sedikit.
                  Dari sudut pandang kaum Quraisy, riba adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari tabungan yang mereka miliki, karena debitur pada  saat itu tidak harus berjalan jauh untuk melakukan transaksi yang memakan biaya. Mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari transaksi riba tersebut. Hal ini disebabkan karena modal yang ada hanya terbatas pada kaum Hijaz yang hidupnya nomaden, sementara perdagangan meng­akibatkan permintaan modal yang tinggi, sedangkan keuntungan yang mereka peroleh dari transaksi riba ini sangat besar. Lagi pula mereka tidak perlu me­nang­gung resiko ketika terjadi kerugian dari perdagangan yang dilakukan debitur. Seka­li­pun debitur (pedagang) tidak dapat mengembalikan modal yang dipinjamnya, uang kreditur tetap aman karena mereka dapat menjadikannya budak.[14]
                  Keuntungan lain untuk kreditur, ia tidak perlu mengkhawatirkan keberhasilan atau kegagalan perdagangan yang dijalankan debitur, dan tidak ada kepentingan untuk menangani para debitur. Ia tidak perlu mengaudit pemasukan dan pengeluaran untuk menghitung keuntungan dan bagiannya. Kreditur juga tidak perlu memberikan pelatihan kepada pedagang tentang bagaimana mengelola dan memasarkan produknya. Dengan keuntungan dan kemudahan inilah banyak pemilik modal yang lebih memilih transaksi dengan riba dalam kerjasama perdagangannya.
                  Rasulullah s.a.w. sudah mengutuk riba sejak awal perjalanan dakwahnya dan melarang kaum muslim mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Selama mengajarkan etika ekonomi dan mengutuk riba, secara perlahan-lahan Rasulullah membatasi penerapan riba di masyarakat.[15] Selang beberapa waktu, Rasulullah melarang compound usury (riba yang diterima secara keseluruhan, biasanya pada waktu jatuh tempo) dan pada akhir tahun hijrahnya Rasul, seluruh bentuk riba dan transaksi yang ribawi dilarang. Rasulullah menekankan kepada masyarakat bahwa keuntungan yang didapat dari riba adalah sebuah dosa besar.[16] Akhirnya, riba dihilangkan dari kegiatan ekonomi pada awal periode keislaman dan tabungan hanya dapat digunakan untuk tujuan yang telah disebutkan di atas. Perubahan ini secara keseluruhan meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi dan keseimbangan antara perputaran uang dan produksi barang.
                  Seiring dengan perkembangan perilaku perekonomian di masyarakat, pengambilan bunga uang di  masyarakat pun mengalami perkembangan, dan penilaian orang pun menjadi berubah. Ketika itu kira-kira abad ke-17 dan ke-18 orang tidak lagi mengadakan larangan mengambil bunga uang. Akan tetapi yang dipikirkan adalah bagaimana membatasi dan berapa yang layak si peminjam membayar bunga kepada orang yang meminjamkan modalnya. Tatkala revolusi industri meluas di benua Barat, modal orang-seorang tidak lagi menampung perkembangan produksi maka timbullah pandangan-pandangan baru mengenai bagaimana menarik dan mengumpulkan modal untuk dikerjakan ke dalam proses produksi yang berkembang itu. Keadaan sekarang menjadi terbalik, yang meminjam bukan lagi orang miskin guna menutup kebutuhannya dengan barang-barang konsumsi, melainkan orang kaya raya yang memiliki perusahaan tanpa pabrik, serikat-serikat dagang atau industri besar atau kecil. Bahkan yang lebih banyak lagi meminjam adalah pemerintah guna melanjutkan produksi dan rencana-rencana pembangunan yang besar-besar.[17]
                  Karena itu pula, sekarang orang memandang rente sebagai harga yang dibayarkan untuk penggunaan modal uang, atau juga pendapatan milik. Malahan penilaian orang lebih dari itu. Dipandang dari sudut orang yang meminjam modal uang tersebut dan mempergunakannya untuk keperluan perusahaan dan konsumsinya, rente itu dianggap sebagai perongkosan.[18] Akhirnya, rente itu dapat dianggap sebagai faktor perhitungan atau faktor kalkulasi sedangkan tinggi rente (rente voet) sebagai ukuran perhitungan. Dalam percakapan sehari-hari yang dimaksud dengan rente voet adalah besarnya jumlah rente dalam setahunnya dihitung dalam persentase (%) dari modal uang pokok yang dipinjamkan.[19]
                  Demikian sekadar gambaran dari asal-usul praktik pemungutan bunga uang dari zaman dahulu hingga sekarang dan beserta penilaian orang terhadap perilaku tersebut pada tiap masanya masing-masing. Pada zaman sekarang, orang secara besar-besaran telah mengorganisasi perusahaan-perusahaan yang melakukan pemungutan dan pembayaran bunga uang, seperti halnya perusahaan-perusahaan bank, koperasi, perseroan-perseroan, serikat-serikat dagang, dan lain-lain yang kini tidak dapat lagi melepaskan diri dari bunga uang.

C.        Teori-teori Pembenar Riba
                  Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus diajukan dalam membahas bunga. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: apakah pembayaran bunga atas uang pinjaman merupakan hal yang wajar? Adilkah bila seseorang yang memberi pinjaman atau kreditur menuntut pihak berutang (debitur) membayar bunga atas utangnya? Sebaliknya, adilkah bila orang yang berutang diminta membayar bunga sehingga ia harus mengembalikan uang lebih banyak dari yang dipinjamnya?
                  Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab lebih dahulu bila kita hendak mengambil sikap yang objektif mengenai bunga. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menyelesaikan separo dari masalah bunga. Bila terbukti bahwa bunga tidak dapat dibenarkan, baik oleh akal maupun keadilan, mengapa masalah bunga masih menjadi perdebatan?
                  Banyak pendapat mengenai bunga. Para ahli pendukung doktrin bunga pun berbeda pandangan soal alasan untuk apa bunga harus dibayarkan. Sebagian mengatakan bunga merupakan harga. Akan tetapi, harga untuk apa? Benda berharga apakah yang dibayar oleh pemberi pinjaman (kreditor) sehingga ia menuntut imbalan uang setiap bulan ataupun setiap tahun? Para pelopor institusi bunga tak dapat mencapai kata sepakat dalam masalah ini.
                  Di antara alasan yang dikemukakan untuk pembenaran pengambilan bunga adalah alasan abstinence.[20]
                  Pelopor dari teori ini menegaskan bahwa ketika kreditor menahan diri (abstinence), ia menangguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang itu untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya. Ini sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah, perabotan, maupun kendaraan.
                  Selanjutnya teori pembenar yang sering digunakan oleh orang-orang yang membolehkan bunga uang adalah teori bahwa bunga sebagai imbalan sewa.[21] Menurut mereka bagi orang yang telah meminjam sejumlah uang pada saat mengembalikan harus membayar modal disertai bunga sebagai sewa dari uang yang diterima atau dipinjam. Selain itu terdapat teori pembenar lainnya adalah bunga sebagai imbalan bagi pinjaman produktif.[22] Untuk pinjaman produktif debitur harus mengembalikan atau membayarkan bunga secara bulanan atau tahunan yang diasumsikan sebagai keuntungan.
Teori pembenar selanjutnya adalah opportunity cost.
                  Para pelopor pemikiran ini beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditur menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri guna memenuhi keinginan diri sendiri. Hal ini serupa dengan memberikan waktu kepada peminjam. Dengan waktu itulah yang berutang memi­liki kesempatan untuk menggunakan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, waktu mempunyai harga yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu.
                  Hal itu dijadikan alasan para penganut teori ini untuk menganggap bahwa kreditur berhak menikmati sebagian keuntungan peminjam. Menurut mereka, besar-kecilnya keuntungan terkait langsung dengan besar-kecilnya waktu, padahal kreditur dianggap berhak mengenakan harga sesuai dengan lamanya waktu pinjaman.
                  Beberapa ahli ekonomi memperbolehkan pengambilan bunga dengan menekankan fungsi modal dalam produksi. Hal inilah yang disebut dengan teori kemutlakan produktivitas modal. Menurut pandangan tersebut, modal adalah produktif dengan sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Modal dipandang mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah. Dengan demikian, pemberi pinjaman layak untuk mendapatkan imbalan bunga.[23]
                  Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa depan. Manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang. Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena bunga dengan rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini, teori inilah yang disebut dengan teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang.[24]
                  Singkatnya, mereka menganggap bunga sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau pertukaran barang di waktu yang akan datang. Boehm Bawerk, pendukung utama pendapat ini, menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu yang mendatang akan berkurang, yaitu sebagai berikut:
1.    Keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang, sedangkan keuntungan masa kini sangat jelas dan pasti.
2.    Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada waktu yang akan datang. Pada masa yang akan datang, mungkin saja seseorang tidak mempunyai kehendak semacam sekarang.
3.    Kenyataannya, barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna. Dengan demikian, barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.[25]
                  Alasan-alasan tersebut meyakinkan mereka bahwa keuntungan pasti masa kini jelas diutamakan daripada keuntungan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, modal yang dipinjamkan kepada seseorang pada saat sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga, menurut penganut paham ini, merupakan nilai lebih  yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula. Dengan kata lain, bunga serupa dengan perbedaan psikologis barang-barang masa kini dengan barang-barang pada masa yang akan datang. Bukan perbedaan ekonomis.
                  Pendukung teori pembenar riba, memahami inflasi sebagai alasan dibolehkannya mengambil bunga.
                  Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli uang atau decreasing purchasing power of money. Oleh karena itu, menurut penganut paham ini, pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.[26]
                  Dari beberapa teori pembenar pengambilan bunga atau riba di atas, semua pendukungnya berpendapat bahwa bunga sudah seharusnya dibayarkan oleh para peminjam atau debitur. Apalagi pinjam-meminjam modal dengan memakai bunga merupakan ciri khas bagi sistem ekonomi konvensional sekarang yang merupakan hal yang sudah biasa.
                  Suku bunga yang layak dewasa ini akan merupakan suku bunga yang biasa di waktu yang akan datang. Kemudian apa yang layak bagi suatu negara mungkin tidak layak bagi negara lainnya.[27] Di tahun 1920-an, banyak masyarakat koperatif yang mengenakan bunga 12% - 15% dan waktu itu masih dianggap wajar.
                  Soesatyo Reksodiprojo berpendapat bahwa perbankan umum konven­sional mempunyai posisi yang amat vital dalam konstelasi ekonomi modern, karena memiliki jaringan yang luas dengan segenap bagian dan cabang kegiatan-kegiatan perekonomian, hingga dapat memberikan jasa-jasa yang penting bagi perkembangan ekonomi.[28]
                  Oleh karena itu menurut ekonom konvensional, perusahaan-perusahaan bank tidak bisa terlepas dari perhitungan bunga uang karena salah satu aktivitas bank adalah berniaga kredit dengan membayar dan memungut bunga uang.[29] Berdasarkan kepada beberapa teori pembenar riba tersebut dapat dipahami bahwa dalam tindak tanduk seseorang dalam soal-soal ekonomi dan keuangan telah dikuasai oleh suatu sistem yang dinamakan sistem harga. Faktor pokok yang menentukan dan yang menjadi sendi yang kokoh tempat berdirinya sistem harga itu, adalah soal bunga yakni harga modal, karena ia sesungguhnya menjadi faktor yang menentukan harga di dalam penghidupan ekonomi, ketika pinjam-meminjam modal senantiasa berlaku.

D.        Kritik Konstruktif Ekonomi Islam Terhadap Konsep dan Praktik Riba
                  Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa, bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan mantap, tanpa terdapat kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi semu dalam kapitalistik yang bersifat self  destructive dan tidak stabil.
                  Ketidakstabilan tersebut digambarkan seperti langkah-langkah yang tidak berpola, persis seperti langkah orang yang sedang mabuk. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 Allah menggambarkan hal itu, yang artinya “dan orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila”.
                  Dalam ayat tersebut Allah swt ingin mengabarkan bahwa sesungguhnya riba adalah sumber labilitas ekonomi. Riba tidak menolong, tetapi justru mempurukkan perekonomian. Dalam hal ini termasuk didalamnya adalah bunga uang dan rente, yang ketiga istilah ini secara bahasa maknanya sama yaitu ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain juga bermakna tumbuh dan membesar.[30] Secara teknis konseptual riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[31]
                  Karena riba bukan hanya persoalan umat Islam, kalangan Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen pun melarang konsep bunga (riba) dan pelaksanaannya. Hal ini dapat dipahami karena terdapat kesamaan antara agama Islam, Yahudi dan Nasrani dalam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan Isa. Selain itu Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai ahli kitab, karena Allah mengaruniai kaum Yahudi kitab Taurat dan kaum Kristen kitab Injil.[32]
                  Islam melarang riba dalam al Qur’an dengan empat tahap:
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang secara lahiriah seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati Allah swt.[33]
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memohon riba.[34]
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.[35] Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba, tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278 - 279 surat al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah.[36]
Tahap terakhir, Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.[37]
                  Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga al-hadis. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadis lebih terinci.
                  Dalam amanat terakhirnya pada tanggal  9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
      “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan”.[38]

                  Selain itu, masih banyak lagi hadis yang menguraikan masalah riba. Di antaranya, hadis riwayat Bukhari:
      Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah saw. melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar”.[39]

                  Sekalipun ayat-ayat dan hadis riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antaranya karena alasan Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
                  Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pem­ba­hasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti[40] dalam bukunya, al-Asybah wan-Nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian”.
Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan.
Sebagaimana firman-Nya:
      “… Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[41]
                  Dalam kehidupan sehari-hari, pengambilan bunga uang atau riba dengan alasan darurat tidak dapat dibenarkan karena orang tidak akan mati kelaparan hanya karena ada jalan satu-satunya meminjam uang dengan riba. Selain itu alasan darurat pengambilan bunga uang tidak termasuk dalam dua pembatasan dalam surat Al-Baqarah ayat 173 di atas. Karena mustahil orang meminjam uang dengan bunga tanpa ada unsur tidak menginginkan. Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya. Oleh karena itu surat al-Baqarah ayat 173 tidak dapat atau tidak relevan dijadikan dasar bahwa pengambilan bunga uang boleh karena kondisi darurat.
                  Selain itu ada juga orang yang membenarkan pengambilan bunga uang bila kecil dan wajar-wajar saja. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130.
                  Sepintas, surah Ali Imran: 130[42] ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
                  Di sisi lain ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
                  Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
a.   Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
b.   Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.[43]
                  Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya seorang rentenir dan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente meliputi propinsi, negara, bahkan global.
                  Di samping itu dari beberapa teori pembenaran riba di muka dapat diberikan kritik konstruktif sebagai berikut,
(1) Benarkah bunga merupakan imbalan karena menahan diri (abstinence)? Kenyataannya, kreditur hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri. Kreditur hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan. Dengan demikian, sebenarnya kreditur tidak menahan diri atas apapun. Tentu, ia tak boleh menuntut imbalan atas hal yang tak dilakukannya tersebut.
                        Di samping itu, tidak ada standar yang dapat digunakan untuk meng­ukur unsur penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence. Kalaupun ada, bagaimana menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak, yakni pemilik uang dan pengguna uang tersebut?
                        Dalam tinjauan syariah, “unsur penundaan konsumsi” ataupun “penun­daan investasi” tidak dapat dijadikan illat (            ) dalam penetapan hukum. Para ulama merumuskan,
                        “Salah satu syarat illat hukum (argumentasi hukum) adalah sifat yang jelas, zahir, tetap/konsisten”.[44]
                        Feeling seorang yang menunggu dan melakukan tindakan abstinence itu sangat berbeda-beda.
(2)  Benarkah bunga sebagai imbalan sewa?
                        Uang memiliki karakter yang berbeda dengan barang dan komoditas lain, baik menyangkut daya tukar yang dimiliki, kepercayaan masyarakat terhadapnya, maupun posisi hukumnya.
                        Sewa hanya dikenakan terhadap barang-barang seperti rumah, perabotan, alat transportasi, dan sebagainya, yang bila digunakan akan habis, rusak, dan kehilangan sebagian dari nilainya. Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang yang susut, rusak, dan memerlukan biaya perawatan. Adapun uang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Karena itu, menuntut sewa uang tidak beralasan.
                        Dalam disiplin ilmu ekonomi Barat, kita seringkali mendapatkan rumus yang menempatkan posisi rent, wage, dan interest:

Text Box: {(r) K; (w) L; (i) M}, di mana:
(r) K berarti rent untuk Kapital
(w) L berarti wage untuk Labour
(i) M berarti interest untuk Money
 

                                                                                                                                                                                                                         [45]

                        Rumus di atas menunjukkan bahwa padanan rent (sewa) adalah aset tetap dan aset bergerak, sedangkan interest (bunga) padanannya uang.
                        Secara ilmu ekonomi konvensional sekalipun, amatlah keliru bila kita menempatkan rent (sewa) untuk uang karena uang itu bukan aset tetap seperti rumah atau aset bergerak seperti mobil yang dapat disewakan.
(3)  Untuk pinjaman produktif, terdapat dua kemungkinan: memperoleh ke­un­tungan atau menderita kerugian. Jika dalam menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat membenarkan kreditur menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Coba bayang­kan, seandainya si pemberi pinjaman diminta untuk menjalankan usahanya sendiri, apakah dapat dijamin bahwa dia pasti dan selalu untung, minimal sekian persen dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan resesi atau krisis? Jelas, jawabannya tidak. Akan tetapi, mengapa ia mewajibkan keuntungan minimal kepada orang lain, padahal dia sendiri pun tidak mampu melaksanakannya. Apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari nilai bunga yang harus dibayar setiap bulan atau setiap tahun, bagaimana kreditur dibenarkan untuk mengambil bagiannya? Ia sendiri tidak melakukan apa-apa, sedangkan peminjam yang bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga, kemampuan, bahkan mungkin modalnya sendiri, tidak memperoleh apa-apa.
                              Kreditur bisa saja menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan. Bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan kerjasama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal dengan menarik bunga tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
                        Di samping itu, si pemilik dana harus jelas dan jujur sejak awal, apakah dia bermaksud untuk berbisnis atau membantu secara kemanusiaan.
                        Akan tetapi, jika ia ingin berbisnis dengan dananya maka bisa secara jual beli, bagi hasil, sewa, dan lain-lain. Memang sangatlah tidak adil jika si pemilik dana telah mengkontribusikan dana bersama mitranya sementara seluruh keuntungan diambil mitra serta tidak memberikan sesuatu apapun kepada si investor.
                        Praktik yang dilarang oleh Islam adalah pematokan imbalan pada awal secara tetap dan pasti. Adapun return dan berbagi hasil, sangat dianjurkan. Oleh karena itu, Islam membuka kesempatan yang sangat luas dalam bisnis me­lalui bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, bai’ al-istishna’, al-ijarah, al-mudharabah, al-musyarakah, al-hawalah, ar-rahn, al-kafalah, dan al-wakalah.[46]
(4)  Pandangan pelopor pemikiran opportunity cost, berbenturan dengan pertanyaan dasar. Bagaimana kreditur dapat memastikan bahwa peminjam nyata-nyata memperoleh keuntungan dan bukan kerugian atas investasi modal pinjamannya? Dasar apa yang membuatnya beranggapan bahwa peminjam akan memperoleh keuntungan secara tetap sehingga ia merasa berhak meminta bagian keuntungan secara tetap pula? Bagaimana pula kreditur dapat meyakini bahwa peminjam akan selalu memperoleh keuntungan setiap bulan atau setiap tahun sehingga ia dianggap akan selalu mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?
                        Para pendukung teori bunga tidak dapat memberikan jawaban yang rasional dan adil terhadap masalah tersebut.
                        Di samping itu, ada anggapan yang keliru bahwa jika dana diusahakan secara syariah berarti opportunity itu akan hilang sama sekali. Seluruh skema pembiayaan syariah, yaitu syirkah al-inan, syirkah al-mudharabah, syirkah al-mufawadhah, bai’ as-salam bai’ as-istishna’, al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik, dan lain-lain, semuanya merupakan infrastruktur yang memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk memetik keuntungan yang adil dan proporsional.
(5)  Adapun dari teori kemutlakan produktivitas modal, timbul sebuah permasalahan, benarkah modal selalu produktif? Kenyataannya, modal menjadi produktif hanya apabila digunakan seseorang untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan. Bila digunakan untuk tujuan konsumsi, modal sama sekali tidak produktif. Bila digunakan untuk usaha produksi pun, modal tak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanaman modal sering menipiskan keuntungan. Dalam beberapa kasus malah mengubah keuntungan menjadi kerugian.
                              Jika modal dianggap memiliki produktivitas, sebenarnya produktivitas tersebut bergantung pada berbagai faktor lain. Penanaman modal yang dapat mendatangkan banyak keuntungan bergantung pada mendatangkan banyak keuntungan bergantung pada bagian produksi, riset dan pengembangan, marketing, keuangan, inventori, demikian juga kemampuan, visi, serta pengalaman orang yang menggunakannya. Belum lagi faktor kestabilan ekonomi, sosial, dan politik suatu negara. Faktor-faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut berubah menjadi kerugian.
                              Mungkin saja diakui bahwa modal memang memiliki potensi produk­tivitas sehingga pemilik modal layak untuk mendapat bagian keuntungan. Akan tetapi, tidak ada cara untuk mengetahui secara tepat dan pasti nilai potensi keuntungan yang adil, baik pada saat stabil maupun krisis.
      Dalam firman Allah SWT disebutkan:
            “… Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan besok. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati …”.[47]

(6)  Paham teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang juga mempunyai kelemahan. Benarkah manusia menganggap kehendak masa sekarang lebih penting dan berharga daripada keinginan pada masa depan? Jika demikian, mengapa banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang, tetapi menyimpannya untuk keperluan pada masa yang akan datang? Kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang menahan keinginannya masa kini demi untuk memenuhi keinginan masa depan, padahal mereka tidak dapat menduga apa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Manusia mengupayakan berbagai cara untuk meraih masa depan yang lebih baik. Masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera. Teramat sedikit fakta seorang yang sehat sengaja mengejar kebahagiaan hari ini dengan mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraannya pada masa depan.
                                          Islam sebagai agama yang sistem ekonominya diciptakan bukan oleh manusia, tetapi oleh Allah SWT, Tuhannya segenap manusia, mengingatkan bahwa teori nilai waktu atas uang sangatlah tidak adil.
                                          Islam sangat menghargai waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap. Hal ini karena hasil yang nyata dari optimalisasi waktu itu variabel, bergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik, produk yang dijual, jaringan pemasaran, termasuk siapa pengelolanya. Oleh karena itu, Islam merealisasikan penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan dan nisbah bagi hasil yang semua pihak sharing the risk and profit secara bersama.
(7)  Argumentasi bahwa pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan memang sangat tepat se­an­dai­nya dalam dunia ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi saja tanpa deflasi atau stabil.
                                          Demikian juga, tidak boleh menutup kemungkinan bahwa dalam transaksi muamalah syariah seperti bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, musyarakah, dan mudharabah terdapat keuntungan. Tidak jarang keuntungan yang dihasilkan dari transaksi-transaksi tersebut memiliki nilai return yang melebihi tingkat inflasi.[48]
                        Lebih lanjut ekonomi Islam memberikan dorongan untuk melakukan investasi dengan jumlah yang lebih besar dan lebih banyak dari motivasi konvensional. Kalau secara konvensional terdapat motif profit-taking dan inflasi, dalam ekonomi Islam –di samping dua hal tersebut– ditambah lagi dengan adanya kewajiban zakat dan larangan mendiamkan aset.
                        Pada zaman Rasulullah saw. pun telah terjadi inflasi (seperti dianalisis dengan sangat tajam oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim dalam kitab mereka: al-Hisbah fil-Islam dan I’lam al-Muwaqqiin), tetapi Rasulullah tidak pernah membenarkan pengambilan bunga pinjaman atas dasar faktor ini.[49]

E.        Penutup
                  Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara konsep ataupun praktik pengambilan bunga (rente, riba) tidak dibenarkan dalam Islam. Riba dilarang karena mempunyai dampak yang negatif dari sisi ekonomi Islam. Dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Selain itu, dari sisi utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan, akan terjadi utang yang terus-menerus.
                  Dampak ekonomi riba ini pun mempengaruhi eksistensi dunia perbankan. Fakta empirik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan ribawi sangat labil dan mudah sekali terserang problem Negatif-Spread.
                  Untuk mengatasi kondisi tersebut, ekonomi Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sebagai konsekuensinya, demi tercapai kondisi perekonomian pada umumnya, pengelolaan lembaga keuangan sesuai prinsip-prinsip syari’ah sudah seharusnya menjadi sebuah kebutuhan, bukan alternatif pilihan.
                  Analisa yang dilakukan dalam tulisan ini berangkat dari teori pembenar riba, kemudian dicarikan solusinya dalam perspektif ekonomi Islam. Hal inilah yang membedakan dengan kajian-kajian riba lainnya. Yang ditulis penulis-penulis terdahulu melihat dari sudut pandang fiqih, moral spiritual, agama dan historis serta perspektif non muslim.

DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, GIP, Jakarta.
Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Cet. I, Alfabet, Jakarta.
as-Suyuti, Jalaludin Abdurrahman, 1983, al-Asybah wan Nadzair Fi Qawaid wa Furu’ Fiqh asy-Syafiiyah, Darul Kutub al Amaliyah.
az Zuhaily, Wahbah, 1985, Ushul Fiqh al Islami, Darul Fikr, Beirut.
Badr ad-Zinal-Ayni, 1310H, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, Vol V. Mathba’a al-Amina, Constantinople.
Chotib, A, 1962, Bank dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Dahlan, Abdul Azis, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Departemen Agama RI, 1979, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta.
Hadi, Abu Sura’i Abdul, 1993, Bunga Bank dalam Islam, Usaha Offset Printing, Surabaya.
Hatta, Muhammad, 1958, Beberapa Pasal Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta.
Ibrahim, Taher, 1967, Pembahasan Ekonomi Islam, Marx dan Keynes, Bulan Bintang, Jakarta.
Islahi, Abdul Azim, 1992, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, Longman, Kuala Lumpur.
Karim, Adiwarman Azwar, 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kasmir, 1999, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lewis, Mervyn K, 1999, “The Cross and The Crescent Comparing Islamic and Christian Attitude to usuary”, dalam IQTISAD: Journal of Islamic Economics, Vol 1. No 1, Muharram 1420 H. April 1999.
Mannan, M.A, 1997, Islamic Economic, Theory and Practice, Penterjemah. M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Qureshi, Anwar Iqbal, 1991, Islam an The Theory of Interest, Muhammad Ashraf, Lahore.
Rahardjo, Dawam, 1988, “the Question of Islamic Banking in Indonesia”, dalam Muhamed Arif (ed), Islamic Banking in South East Asia, ISEAS, Singapura.
Rahman, Afzalur, 1996, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 3, Penterjemah Soeroyo dan Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Reksodiprodjo, Soesatyo, 1996, Pengantar Ekonomi Bank dan Kredit, PT Pembangunan, Jakarta.
Saeed, Abdullah, 1996, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, Ej Brill, Leiden.
­­–––––––––––––, 1998, “Metodologi Ekonomi Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 3 No 1, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1983, Issues in Islllllllllamic Banking; selected paper, Islamic Foundation, Leicester.
Swasono, Sri Edi, 1988, “Bank dan Suku Bunga” dalam Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Hikmat Syahid Indah, Jakarta.
Tohir, Kaslan. A, 1958, Ekonomi Selayang Pandang, Vorkink Van Hoeve, Bandung.
Zarqa, Mustafa Ahmad, 1959, Al Fiqh al-Islami Fii Tsaubihi al Jadid: al-Mudkhal al Fiqh al-Aam, cet ke 6, Mathban-jamiah. Dimasq, Damaskus.
Zulkifli dan Sulastiningsih, 1998, “Rerangka Konseptual Pelaporan Keuangan dalam perspektif Islam” dalam Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol 2 no 2, Desember.




*Dosen Prodi Ekonomi Islam FIAI UII dan MSI UII Yogyakarta, sedang menyelesaikan studi  Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[1]Zainul Arifin, 1999, Memahami Bank Syari’ah, Alfabet, Jakarta, hal. v.
[2]Ibid, hal. vii.
[3]Abdul Azis Dahlan, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 1497.
[4]Kasmir, 1999, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 121.
[5]Kaslan A. Tohir, 1958, Ekonomi Selayang Pandang, Cet. II, Vorkink-Van Hoeve, Bandung, hal. 308.
[6]Taher Ibrahim, 1967, Pembahasan Ekonomi Islam, Marx dan Keynes, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 10.
[7]Badr ad-Zinal-Ayni, 1310 H, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, Vol. V, Mathba’a al-Amira, Constantinople, hal. 436.
[8]Abu Sura’i Abdul Hadi, 1993, Bunga Bank Dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 23.
[9]Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, hal. 44.
[10]Ibid.
[11]Kaslan A. Tohir, op.cit., hal. 307.
[12]Muhammad Hatta, 1958, Beberapa Pasal Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 30.
[13]Kaslan A. Tohir, op.cit., hal. 307.
[14]Adiwarman Azwar Karim, 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 137.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Taher Ibrahim, loc.cit., hal. 15.
[18]Kaslan A. Tohir, loc.cit., hal. 314.
[19]Ibid., hal. 315.
[20]Sa’d A.S. Harran, 1993, dalam Muhammad Syafi’i Antonio 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, hal. 70.
[21]Ibid.
[22]Ibid., hal. 71.
[23]M.N. Siddiqi, 1983, Issues in Islamic Banking; Selected Paper, Islamic Foundation, Leicester.
[24]Anwar Iqbal Qureshi, 1991, Islam an The Theory of Interest, SH. Muhammad Ashraf, Lahore.
[25]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit., hal. 75.
[26]Dawam Rahardjo, 1988, “The Question of Islamic Baking in Indonesia”, dalam Muhamed Arif (ed), Islamic Banking in South East Asia, ISEAS, Singapura.
[27]M. Abdul Mannan, 1997, Islamic Economic, Theory and Practice, Terjemahan oleh Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, hal. 165.
[28]Soesatyo Reksodiprojo, Pengantar Ekonomi Bank dan Kredit, PT. Pembangunan, Jakarta, hal. 88.
[29]Muhammad Hatta, 1958, Beberapa Pasal Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 36.
[30]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit., hal. 37, lihat juga Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibiton of Riba and Its Contemporary Interpretation, 1996, Ej Brill, Leiden.
[31]Ibid.
[32]Ibid., hal. 43.
[33]QS. Ar Ruum: 39
[34]QS. An Nisaa: 160-161.
[35]QS. Ali Imran: 130.
[36]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit., hal. 49.
[37]QS. Al Baqarah: 278-279.
[38]Muhamamd Syafii Antonio, loc.cit., hal. 51.
[39]Imam Bukhari, Sohih Bukhari Kitab al-Buyu, hadis No. 2084.
[40]Lihat Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, 1983, al-Asybah wan Nadzair fi Qadaid wa Furu’ Fiqh asy-Syafiiyah, Darul Kutub al-Amaliyah, hal. 85
[41]QS. Al Baqarah: 173.
[42]”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan”.
[43]Mustafa Ahmad Zarqa. 1959. Al-Fiqh al-Islami fii Tsaubihi al-Jadid: al-Mudkhal al-Fiqh al-Aam, Cet. ke 6, Mathbaa-jamiah Dimasq, Damaskus, dalam Muhamamd Syafii Antonio, loc.cit., hal. 59.
[44]Wahbah az-Zuhaily, 1985, Ushul Fiqh al-Islami, Darul Fikr, Beirut, dalam Muhammad Syafii Antonio, loc.cit., hal. 70.
[45]Muhammad Syafii Antonio, ibid., hal. 70.
[46]Ibid., hal. 72.
[47]QS. Luqman: 34.
[48]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit., hal. 76.
[49]Ibid., lihat Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman, 1992).