RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
(Dimuat dalam Jurnal MILLAH Jurnal Studi Agama Vol II No. 2 Thn.
2002)
Rahmani Timorita Yulianti*
Abstrak
Menurut istilah
teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
batil. Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum ada
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah Islam. Konsep riba seperti tersebut di atas (dalam
praktik sehari-hari sering disebut bunga uang atau rente) sudah dipraktikkan
sejak jaman Romawi, Yunani, Jahiliyah bahkan setelah Islam datang pun
pengambilan bunga uang masih dilakukan oleh masyarakat, yang dulunya bersifat social
ethic sekarang berubah menjadi social economic. Dalam hal pelarangan pengambilan bunga uang, selain
Islam agama Yahudi dan Nasrani juga tidak memperbolehkan umatnya melakukan
praktik riba. Pengharaman ini dapat dilihat dalam Kitab suci Al Qur’an, Al
Hadis serta kitab suci umat Yahudi dan Nasrani. Pengharaman praktik riba
tersebut sedemikian keras, karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh riba
baik dari segi moral-spiritual, sosial kemasyarakatan dan dampak ekonomi. Dalam
perspektif ekonomi Islam sudah saatnya sistem ekonomi ribawi ditinggalkan,
karena hanya akan membuat roda perekonomian tidak stabil dan semakin terpuruk,
yang disebabkan karena sifat riba yang self destructif. Oleh karena itu ekonomi
Islam menawarkan dan mendorong kepada umat manusia untuk melakukan usaha nyata
dan produktif dengan melakukan investasi dan meninggalkan riba.
A. Pendahuluan
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997, telah menjadi krisis yang
bersifat multidimensi karena merupakan kombinasi dari krisis ekonomi,
finansial, politik dan sosial sekaligus. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai
rata-rata 7% per tahun itu, tiba-tiba anjlok secara drastis menjadi minus 15%
di tahun 1998 atau terjun sebesar 22%. Implikasinya adalah inflasi yang terjadi
sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan
sebagian besar konglomerat dan dunia usaha.[1]
Perkembangan
selanjutnya krisis tersebut semakin parah. Salah satu penyebabnya adalah
penaikan suku bunga SBI yang semakin membubung tinggi, sehingga berdampak lebih
luas dan fatal bagi seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua sektor ekonomi
mengalami pertumbuhan negatif selama tahun 1998 dan diperkirakan akan berlanjut
pada tahun-tahun berikutnya.
Tingkat suku
bunga yang demikian tinggi, tidak memungkinkan pengusaha untuk membayarnya.
Tetapi karena pengusaha memerlukan likuiditas, kredit berbunga tinggi pun
diambilnya juga. Ketidakmampuan pengusaha membayar kembali kreditnya
menimbulkan terjadinya kredit macet dalam jumlah besar. Dengan demikian
bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu, eksistensinya terancam.
Hal ini disebabkan karena, di satu sisi bank harus membayar bunga deposito
yang tinggi, sedang di sisi lain pendapatan anjlok karena kredit macet. Oleh
karena itu, negative spread yang diderita oleh bank-bank itu sangat
besar. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, kini hanya tinggal kurang
lebih 73bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[2]
Sistem
perbankan dewasa ini nyaris hancur sebagai akibat dari tingginya tingkat bunga
perbankan yang tidak akan mampu dibayar oleh sektor apapun. Dengan kondisi
seperti itulah maka muncul kebutuhan akan lembaga keuangan alternatif yang
dapat menerobos kendala tersebut. Karena fakta empirik perbankan konvensional
ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem negatif spread yang
semata-mata bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive
sehingga mengakibatkan labilitas ekonomi. Bagaimana sebenarnya hakikat riba
yang penerapannya dalam ekonomi konvensional sebagai bunga uang (interest)?
Pada
tulisan-tulisan terdahulu telah banyak pakar yang menulis tentang riba. Tetapi
mereka menyorotinya dari sudut pandang Fiqih, sosial budaya, historis, agama,
moral spiritual dan perspektif non muslim. Sedangkan tulisan ini lebih spesifik
mengkaji tentang riba baik pada dataran konsep ataupun praktik pembangunan uang
dalam perspektif ekonomi Islam. Sehingga dari kajian tersebut dapat diketahui
implikasi praktik riba pada kehidupan perekonomian.
Dengan
berbagai keterbatasan, dalam tulisan sederhana ini didiskripsikan tentang
konsep dan praktik riba dalam masyarakat dengan mengacu kepada teori pembenar
riba dan menganalisanya dari perspektif ekonomi. Selanjutnya penulis menawarkan
bahwa sistem ekonomi Islam semestinya bukan merupakan salah satu alternatif
pilihan, melainkan satu-satunya pilihan sistem ekonomi yang mengajak kepada
masyarakat untuk berperilaku produktif.
B. Sejarah Munculnya Praktik Riba
Riba secara
etimologis bermakna kelebihan atau tambahan, ulama fikih mendefinisikan riba
dengan, kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.[3]
Yang dimaksudkan di sini adalah tambahan terhadap modal yang timbul akibat suatu transaksi utang-piutang
yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Terdapat
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip mu’amalah dalam Islam.
Dalam ilmu
ekonomi pada umumnya riba adalah sinonim dengan bunga uang (rente) yang muncul
dari sejumlah uang pokok, yang lazim disebut dengan istilah kapital atau
modal berupa uang. Dalam hal ini bunga uang disebut juga dengan rente
atau interest yaitu penggantian kerugian yang diterima oleh yang empunya
modal uang untuk menyerahkan penggunaan modal itu.[4]
Modal uang
itu oleh orang dapat dipergunakan, baik untuk keperluan produksi maupun untuk
keperluan konsumsi. Peminjaman modal untuk keperluan konsumsi harus dibayar
bunganya. Dalam perspektive ekonomi rasionalisasinya adalah dengan
dipinjamkannya modal uang untuk keperluan konsumsi maka akan berkuranglah
jumlah modal uang untuk keperluan produksi. Dalam pengertian di atas, bunga
tersebut dianggap orang sebagai harga yang harus dibayar untuk penggunaan
modal uang.[5]
Pendapat ini dikuatkan oleh Taher Ibrahim bahwa bunga uang atau interest adalah
harga dari alat produksi modal.[6]
Di kalangan
ahli fikih pun terdapat berbagai definisi tentang riba. Badr ad-Din al-Ayni,
mengatakan bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan atas harta pokok
tanpa adanya transaksi bisnis riil.[7]
Imam Sarakhsi, Qatadah, Raghib al-Asfahani dan lain-lain berpendapat sama
tentang riba yaitu yang mengandung tiga unsur:
a) Kelebihan dari pokok
pinjaman
b) Kelebihan pembayaran
sebagai imbalan tempo pembayaran
c) Jumlah tambahan yang
disyaratkan di dalam transaksi.[8]
Berdasar kepada kriteria di atas, maka setiap transaksi yang
mengandung tiga unsur tersebut dinamakan riba.
Masalah riba
bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam saja, tetapi menjadi
permasalahan serius bagi berbagai kalangan di luar Islam. Oleh karena itu
kajian terhadap masalah riba dapat ditelusuri mundur hingga lebih dari dua ribu
tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan di kalangan Yahudi,
Yunani, demikian juga Romawi, hingga zaman modern. Praktek-praktek pemungutan
bunga uang ini sesuai dengan dinamika masyarakat serta pertumbuhan dan
perkembangan zaman, berangsur-angsur setahap demi setahap mengalami evolusi dan
perubahan.
Pada zaman
Yunani sekitar abad VI sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa
jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya.
Secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai pinjaman
biasa (6% - 18%), pinjaman properti (6% - 12%), pinjaman antarkota (7% - 12%),
dan pinjaman perdagangan dan industri (12% - 18%).[9]
Pada masa
Romawi sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat Undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut
sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate).
Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun
Undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak
dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).[10]
Walaupun pada
masa Unciaria (88 SM) praktik pengambilan bunga diperbolehkan kembali, yang
sebelumnya dilarang oleh Genucia (342 SM), praktek riba ini dicela oleh para
ahli filsafat Yunani seperti Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322
SM). Demikian juga para filosof Romawi seperti Cato (234-149 SM) dan Cicero
(106-43 SM).[11]
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktek pengambilan bunga
mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan oleh para
filosof Yunani. Mereka menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan
keji, karena menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Selain itu bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang
tidak adil.
Demikian
keadaan benua Eropa pada waktu itu, larangan praktek pemungutan bunga dari
pihak gereja dapat bertahan berabad-abad lamanya, walaupun muncul berbagai
tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh tidaknya
orang Islam mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan
pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu
pandangan para pendeta awal Kristen (abad I - XII) yang mengharamkan bunga,
pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI yang mempunyai keinginan agar
pengambilan bunga diperbolehkan dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI -
tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan pengambilan bunga,
sehubungan dengan kemajuan baru dalam perekonomian.[12]
Hal ini terjadi karena munculnya kapitalisme yang berhasil merubah praktek
pemungutan bunga dari corak sosial etis menjadi sosial ekonomi.[13]
Sehingga orang yang meminjam modal bukan lagi semata-mata orang miskin untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendesak seperti jaman dahulu,
melainkan untuk memperbesar produksi atau untuk mencari keuntungan.
Dalam sejarah
Islam, penggunaan uang tabungan yang disimpan masyarakat Yahudi dengan
pengembalian utang yang dilebihkan dari yang diutangkan (Riba atau Usury Loan)
sudah dilakukan sebelum kedatangan Islam.
Pada saat itu, perdagangan sangat membutuhkan modal sehingga
menciptakan permintaan akan pinjaman yang memerlukan pelunasan uang yang
diterima lebih besar dari yang diutangkan. Jenis riba yang kedua, yang
dilakukan oleh masyarakat Yahudi adalah transaksi riba. Hal ini dilakukan
pedagang dengan menukarkan barangnya dengan barang yang sama dengan jumlah
yang lebih sedikit.
Dari sudut
pandang kaum Quraisy, riba adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keuntungan
yang besar dari tabungan yang mereka miliki, karena debitur pada saat itu tidak harus berjalan jauh untuk
melakukan transaksi yang memakan biaya. Mereka akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dari transaksi riba tersebut. Hal ini disebabkan karena modal yang
ada hanya terbatas pada kaum Hijaz yang hidupnya nomaden, sementara perdagangan
mengakibatkan permintaan modal yang tinggi, sedangkan keuntungan yang mereka
peroleh dari transaksi riba ini sangat besar. Lagi pula mereka tidak perlu menanggung
resiko ketika terjadi kerugian dari perdagangan yang dilakukan debitur. Sekalipun
debitur (pedagang) tidak dapat mengembalikan modal yang dipinjamnya, uang
kreditur tetap aman karena mereka dapat menjadikannya budak.[14]
Keuntungan
lain untuk kreditur, ia tidak perlu mengkhawatirkan keberhasilan atau kegagalan
perdagangan yang dijalankan debitur, dan tidak ada kepentingan untuk menangani
para debitur. Ia tidak perlu mengaudit pemasukan dan pengeluaran untuk
menghitung keuntungan dan bagiannya. Kreditur juga tidak perlu memberikan
pelatihan kepada pedagang tentang bagaimana mengelola dan memasarkan produknya.
Dengan keuntungan dan kemudahan inilah banyak pemilik modal yang lebih memilih
transaksi dengan riba dalam kerjasama perdagangannya.
Rasulullah
s.a.w. sudah mengutuk riba sejak awal perjalanan dakwahnya dan melarang kaum
muslim mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Selama mengajarkan etika ekonomi
dan mengutuk riba, secara perlahan-lahan Rasulullah membatasi penerapan riba di
masyarakat.[15]
Selang beberapa waktu, Rasulullah melarang compound usury (riba yang
diterima secara keseluruhan, biasanya pada waktu jatuh tempo) dan pada akhir
tahun hijrahnya Rasul, seluruh bentuk riba dan transaksi yang ribawi dilarang.
Rasulullah menekankan kepada masyarakat bahwa keuntungan yang didapat dari riba
adalah sebuah dosa besar.[16]
Akhirnya, riba dihilangkan dari kegiatan ekonomi pada awal periode keislaman
dan tabungan hanya dapat digunakan untuk tujuan yang telah disebutkan di atas.
Perubahan ini secara keseluruhan meningkatkan permintaan akan investasi dan
menciptakan koordinasi dan keseimbangan antara perputaran uang dan produksi
barang.
Seiring
dengan perkembangan perilaku perekonomian di masyarakat, pengambilan bunga uang
di masyarakat pun mengalami
perkembangan, dan penilaian orang pun menjadi berubah. Ketika itu kira-kira
abad ke-17 dan ke-18 orang tidak lagi mengadakan larangan mengambil bunga uang.
Akan tetapi yang dipikirkan adalah bagaimana membatasi dan berapa yang layak si
peminjam membayar bunga kepada orang yang meminjamkan modalnya. Tatkala
revolusi industri meluas di benua Barat, modal orang-seorang tidak lagi
menampung perkembangan produksi maka timbullah pandangan-pandangan baru
mengenai bagaimana menarik dan mengumpulkan modal untuk dikerjakan ke dalam
proses produksi yang berkembang itu. Keadaan sekarang menjadi terbalik, yang
meminjam bukan lagi orang miskin guna menutup kebutuhannya dengan barang-barang
konsumsi, melainkan orang kaya raya yang memiliki perusahaan tanpa pabrik,
serikat-serikat dagang atau industri besar atau kecil. Bahkan yang lebih banyak
lagi meminjam adalah pemerintah guna melanjutkan produksi dan rencana-rencana
pembangunan yang besar-besar.[17]
Karena itu
pula, sekarang orang memandang rente sebagai harga yang dibayarkan untuk
penggunaan modal uang, atau juga pendapatan milik. Malahan penilaian orang
lebih dari itu. Dipandang dari sudut orang yang meminjam modal uang tersebut
dan mempergunakannya untuk keperluan perusahaan dan konsumsinya, rente itu
dianggap sebagai perongkosan.[18]
Akhirnya, rente itu dapat dianggap sebagai faktor perhitungan atau faktor
kalkulasi sedangkan tinggi rente (rente voet) sebagai ukuran
perhitungan. Dalam percakapan sehari-hari yang dimaksud dengan rente voet
adalah besarnya jumlah rente dalam setahunnya dihitung dalam persentase (%)
dari modal uang pokok yang dipinjamkan.[19]
Demikian
sekadar gambaran dari asal-usul praktik pemungutan bunga uang dari zaman dahulu
hingga sekarang dan beserta penilaian orang terhadap perilaku tersebut pada
tiap masanya masing-masing. Pada zaman sekarang, orang secara besar-besaran
telah mengorganisasi perusahaan-perusahaan yang melakukan pemungutan dan
pembayaran bunga uang, seperti halnya perusahaan-perusahaan bank, koperasi,
perseroan-perseroan, serikat-serikat dagang, dan lain-lain yang kini tidak
dapat lagi melepaskan diri dari bunga uang.
C. Teori-teori Pembenar Riba
Ada beberapa
pertanyaan mendasar yang harus diajukan dalam membahas bunga.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: apakah pembayaran bunga atas uang
pinjaman merupakan hal yang wajar? Adilkah bila seseorang yang memberi pinjaman
atau kreditur menuntut pihak berutang (debitur) membayar bunga atas utangnya?
Sebaliknya, adilkah bila orang yang berutang diminta membayar bunga sehingga ia
harus mengembalikan uang lebih banyak dari yang dipinjamnya?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut harus dijawab lebih dahulu bila kita hendak mengambil sikap yang
objektif mengenai bunga. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
menyelesaikan separo dari masalah bunga. Bila terbukti bahwa bunga tidak dapat
dibenarkan, baik oleh akal maupun keadilan, mengapa masalah bunga masih menjadi
perdebatan?
Banyak pendapat
mengenai bunga. Para ahli pendukung doktrin bunga pun berbeda pandangan soal
alasan untuk apa bunga harus dibayarkan. Sebagian mengatakan bunga merupakan
harga. Akan tetapi, harga untuk apa? Benda berharga apakah yang dibayar oleh
pemberi pinjaman (kreditor) sehingga ia menuntut imbalan uang setiap bulan
ataupun setiap tahun? Para pelopor institusi bunga tak dapat mencapai kata
sepakat dalam masalah ini.
Di antara
alasan yang dikemukakan untuk pembenaran pengambilan bunga adalah alasan abstinence.[20]
Pelopor dari
teori ini menegaskan bahwa ketika kreditor menahan diri (abstinence), ia
menangguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk
memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat
mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang
itu untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang
yang dipinjamnya. Ini sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah,
perabotan, maupun kendaraan.
Selanjutnya
teori pembenar yang sering digunakan oleh orang-orang yang membolehkan bunga
uang adalah teori bahwa bunga sebagai imbalan sewa.[21]
Menurut mereka bagi orang yang telah meminjam sejumlah uang pada saat
mengembalikan harus membayar modal disertai bunga sebagai sewa dari uang yang
diterima atau dipinjam. Selain itu terdapat teori pembenar lainnya adalah bunga
sebagai imbalan bagi pinjaman produktif.[22]
Untuk pinjaman produktif debitur harus mengembalikan atau membayarkan bunga
secara bulanan atau tahunan yang diasumsikan sebagai keuntungan.
Teori pembenar selanjutnya adalah opportunity cost.
Para pelopor
pemikiran ini beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditur menunggu
atau menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri guna
memenuhi keinginan diri sendiri. Hal ini serupa dengan memberikan waktu
kepada peminjam. Dengan waktu itulah yang berutang memiliki kesempatan
untuk menggunakan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan
demikian, waktu mempunyai harga yang meningkat seiring dengan
berjalannya waktu.
Hal itu
dijadikan alasan para penganut teori ini untuk menganggap bahwa kreditur berhak
menikmati sebagian keuntungan peminjam. Menurut mereka, besar-kecilnya
keuntungan terkait langsung dengan besar-kecilnya waktu, padahal kreditur
dianggap berhak mengenakan harga sesuai dengan lamanya waktu pinjaman.
Beberapa ahli
ekonomi memperbolehkan pengambilan bunga dengan menekankan fungsi modal dalam
produksi. Hal inilah yang disebut dengan teori kemutlakan produktivitas
modal. Menurut pandangan tersebut, modal adalah produktif dengan
sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih
banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Modal dipandang
mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah. Dengan demikian, pemberi
pinjaman layak untuk mendapatkan imbalan bunga.[23]
Beberapa ahli
ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya
sekarang dibanding kehendaknya di masa depan. Manusia dianggap akan
mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang. Kalangan inilah yang menjelaskan
fenomena bunga dengan rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang di
waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini, teori inilah
yang disebut dengan teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah
dibanding masa sekarang.[24]
Singkatnya,
mereka menganggap bunga sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh
dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau pertukaran
barang di waktu yang akan datang. Boehm Bawerk, pendukung utama pendapat ini,
menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu yang mendatang akan
berkurang, yaitu sebagai berikut:
1.
Keuntungan di masa yang akan
datang diragukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian peristiwa serta
kehidupan manusia yang akan datang, sedangkan keuntungan masa kini sangat jelas
dan pasti.
2.
Kepuasan terhadap kehendak atau
keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada
waktu yang akan datang. Pada masa yang akan datang, mungkin saja seseorang
tidak mempunyai kehendak semacam sekarang.
3.
Kenyataannya, barang-barang
pada waktu kini lebih penting dan berguna. Dengan demikian, barang-barang
tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding dengan barang-barang pada
waktu yang akan datang.[25]
Alasan-alasan
tersebut meyakinkan mereka bahwa keuntungan pasti masa kini jelas diutamakan
daripada keuntungan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, modal yang
dipinjamkan kepada seseorang pada saat sekarang lebih bernilai dibanding uang
yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga, menurut penganut paham
ini, merupakan nilai lebih yang
ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan
nilai modal pinjaman semula. Dengan kata lain, bunga serupa dengan perbedaan
psikologis barang-barang masa kini dengan barang-barang pada masa yang akan
datang. Bukan perbedaan ekonomis.
Pendukung
teori pembenar riba, memahami inflasi sebagai alasan dibolehkannya
mengambil bunga.
Inflasi
secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara
keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli uang atau decreasing
purchasing power of money. Oleh karena itu, menurut penganut paham ini,
pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli
uang selama dipinjamkan.[26]
Dari beberapa
teori pembenar pengambilan bunga atau riba di atas, semua pendukungnya
berpendapat bahwa bunga sudah seharusnya dibayarkan oleh para peminjam atau
debitur. Apalagi pinjam-meminjam modal dengan memakai bunga merupakan ciri khas
bagi sistem ekonomi konvensional sekarang yang merupakan hal yang sudah biasa.
Suku bunga
yang layak dewasa ini akan merupakan suku bunga yang biasa di waktu yang akan
datang. Kemudian apa yang layak bagi suatu negara mungkin tidak layak bagi
negara lainnya.[27]
Di tahun 1920-an, banyak masyarakat koperatif yang mengenakan bunga 12% - 15%
dan waktu itu masih dianggap wajar.
Soesatyo
Reksodiprojo berpendapat bahwa perbankan umum konvensional mempunyai posisi
yang amat vital dalam konstelasi ekonomi modern, karena memiliki jaringan yang
luas dengan segenap bagian dan cabang kegiatan-kegiatan perekonomian, hingga
dapat memberikan jasa-jasa yang penting bagi perkembangan ekonomi.[28]
Oleh karena
itu menurut ekonom konvensional, perusahaan-perusahaan bank tidak bisa terlepas
dari perhitungan bunga uang karena salah satu aktivitas bank adalah berniaga
kredit dengan membayar dan memungut bunga uang.[29]
Berdasarkan kepada beberapa teori pembenar riba tersebut dapat dipahami bahwa
dalam tindak tanduk seseorang dalam soal-soal ekonomi dan keuangan telah
dikuasai oleh suatu sistem yang dinamakan sistem harga. Faktor pokok yang
menentukan dan yang menjadi sendi yang kokoh tempat berdirinya sistem harga
itu, adalah soal bunga yakni harga modal, karena ia sesungguhnya menjadi faktor
yang menentukan harga di dalam penghidupan ekonomi, ketika pinjam-meminjam
modal senantiasa berlaku.
D. Kritik Konstruktif Ekonomi Islam
Terhadap Konsep dan Praktik Riba
Islam dengan
pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk
hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia
pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa, bukan dengan sesama uang
seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem
kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa
yang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap
pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan mantap, tanpa
terdapat kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi semu dalam
kapitalistik yang bersifat self
destructive dan tidak stabil.
Ketidakstabilan
tersebut digambarkan seperti langkah-langkah yang tidak berpola, persis seperti
langkah orang yang sedang mabuk. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275
Allah menggambarkan hal itu, yang artinya “dan orang-orang yang memakan riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan
lantaran tekanan penyakit gila”.
Dalam ayat
tersebut Allah swt ingin mengabarkan bahwa sesungguhnya riba adalah sumber
labilitas ekonomi. Riba tidak menolong, tetapi justru mempurukkan perekonomian.
Dalam hal ini termasuk didalamnya adalah bunga uang dan rente, yang ketiga
istilah ini secara bahasa maknanya sama yaitu ziyadah atau tambahan. Dalam
pengertian lain juga bermakna tumbuh dan membesar.[30]
Secara teknis konseptual riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil.[31]
Karena riba
bukan hanya persoalan umat Islam, kalangan Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen
pun melarang konsep bunga (riba) dan pelaksanaannya. Hal ini dapat dipahami
karena terdapat kesamaan antara agama Islam, Yahudi dan Nasrani dalam mengimani
dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan Isa. Selain itu Islam juga
mengakui kedua kaum ini sebagai ahli kitab, karena Allah mengaruniai kaum
Yahudi kitab Taurat dan kaum Kristen kitab Injil.[32]
Islam
melarang riba dalam al Qur’an dengan empat tahap:
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa
pinjaman riba yang secara lahiriah seolah-olah menolong mereka yang memerlukan,
sebagai suatu perbuatan mendekati Allah swt.[33]
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai
suatu yang buruk. Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada
orang Yahudi yang memohon riba.[34]
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.[35]
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba,
tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278 - 279
surat al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah.[36]
Tahap terakhir, Allah swt dengan jelas
dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.[37]
Pelarangan
riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga al-hadis.
Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang berfungsi untuk menjelaskan lebih
lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam
hadis lebih terinci.
Dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah
tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang melarang
riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap
Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu
mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal
(uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan”.[38]
Selain itu,
masih banyak lagi hadis yang menguraikan masalah riba. Di antaranya, hadis
riwayat Bukhari:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,
“Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah
kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak
tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab
bahwa Rasulullah saw. melarang untuk menerima uang dari transaksi darah,
anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan
yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat
gambar”.[39]
Sekalipun
ayat-ayat dan hadis riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada
beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan
bunga uang. Di antaranya karena alasan Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Untuk
memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang
komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh syara’
(Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti[40]
dalam bukunya, al-Asybah wan-Nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah
suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan
sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau
kematian”.
Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering
dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain
kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah
menghalalkan daging babi dengan dua batasan.
Sebagaimana firman-Nya:
“… Barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya), sedang dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.[41]
Dalam
kehidupan sehari-hari, pengambilan bunga uang atau riba dengan alasan darurat
tidak dapat dibenarkan karena orang tidak akan mati kelaparan hanya karena ada
jalan satu-satunya meminjam uang dengan riba. Selain itu alasan darurat
pengambilan bunga uang tidak termasuk dalam dua pembatasan dalam surat
Al-Baqarah ayat 173 di atas. Karena mustahil orang meminjam uang dengan bunga
tanpa ada unsur tidak menginginkan. Pembatasan yang pasti terhadap
pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh,
bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya. Oleh karena itu surat
al-Baqarah ayat 173 tidak dapat atau tidak relevan dijadikan dasar bahwa
pengambilan bunga uang boleh karena kondisi darurat.
Selain itu
ada juga orang yang membenarkan pengambilan bunga uang bila kecil dan
wajar-wajar saja. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat
Ali Imran ayat 130.
Sepintas, surah
Ali Imran: 130[42]
ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali
ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba
lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba
secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk
dan jenisnya mutlak diharamkan.
Di sisi lain
ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan
disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada
hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo
tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini
jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
a. Tidaklah benar
bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah
Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat
pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk
ke lembaran negara.
b. Dalam tradisi
hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality
ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara
keseluruhan.[43]
Demikian juga
dengan lembaga keuangan, apa bedanya seorang rentenir dan lembaga rente.
Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam
skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente meliputi propinsi,
negara, bahkan global.
Di samping
itu dari beberapa teori pembenaran riba di muka dapat diberikan kritik
konstruktif sebagai berikut,
(1) Benarkah bunga merupakan imbalan karena menahan diri
(abstinence)? Kenyataannya, kreditur hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia
gunakan sendiri. Kreditur hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia
perlukan. Dengan demikian, sebenarnya kreditur tidak menahan diri atas apapun.
Tentu, ia tak boleh menuntut imbalan atas hal yang tak dilakukannya tersebut.
Di
samping itu, tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur
penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence. Kalaupun ada, bagaimana
menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak, yakni pemilik uang
dan pengguna uang tersebut?
Dalam
tinjauan syariah, “unsur penundaan konsumsi” ataupun “penundaan investasi”
tidak dapat dijadikan illat (
) dalam penetapan hukum. Para ulama merumuskan,
“Salah
satu syarat illat hukum (argumentasi hukum) adalah sifat yang jelas, zahir,
tetap/konsisten”.[44]
Feeling
seorang yang menunggu dan melakukan tindakan abstinence itu sangat
berbeda-beda.
(2) Benarkah bunga sebagai
imbalan sewa?
Uang
memiliki karakter yang berbeda dengan barang dan komoditas lain, baik
menyangkut daya tukar yang dimiliki, kepercayaan masyarakat terhadapnya, maupun
posisi hukumnya.
Sewa
hanya dikenakan terhadap barang-barang seperti rumah, perabotan, alat
transportasi, dan sebagainya, yang bila digunakan akan habis, rusak, dan
kehilangan sebagian dari nilainya. Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang
yang susut, rusak, dan memerlukan biaya perawatan. Adapun uang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Karena itu, menuntut sewa uang tidak
beralasan.
Dalam
disiplin ilmu ekonomi Barat, kita seringkali mendapatkan rumus yang menempatkan
posisi rent, wage, dan interest:
Rumus
di atas menunjukkan bahwa padanan rent (sewa) adalah aset tetap dan aset
bergerak, sedangkan interest (bunga) padanannya uang.
Secara
ilmu ekonomi konvensional sekalipun, amatlah keliru bila kita menempatkan rent
(sewa) untuk uang karena uang itu bukan aset tetap seperti rumah atau aset
bergerak seperti mobil yang dapat disewakan.
(3) Untuk pinjaman
produktif, terdapat dua kemungkinan: memperoleh keuntungan atau menderita
kerugian. Jika dalam menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar
apa yang dapat membenarkan kreditur menarik keuntungan tetap secara bulanan
atau tahunan dari peminjam? Coba bayangkan, seandainya si pemberi pinjaman
diminta untuk menjalankan usahanya sendiri, apakah dapat dijamin bahwa dia
pasti dan selalu untung, minimal sekian persen dalam keadaan apapun, termasuk
dalam keadaan resesi atau krisis? Jelas, jawabannya tidak. Akan tetapi, mengapa
ia mewajibkan keuntungan minimal kepada orang lain, padahal dia sendiri pun
tidak mampu melaksanakannya. Apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang
dari nilai bunga yang harus dibayar setiap bulan atau setiap tahun, bagaimana
kreditur dibenarkan untuk mengambil bagiannya? Ia sendiri tidak melakukan
apa-apa, sedangkan peminjam yang bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga,
kemampuan, bahkan mungkin modalnya sendiri, tidak memperoleh apa-apa.
Kreditur
bisa saja menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai
keuntungan. Bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya
adalah dengan kerjasama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal
dengan menarik bunga tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
Di
samping itu, si pemilik dana harus jelas dan jujur sejak awal, apakah dia
bermaksud untuk berbisnis atau membantu secara kemanusiaan.
Akan
tetapi, jika ia ingin berbisnis dengan dananya maka bisa secara jual beli, bagi
hasil, sewa, dan lain-lain. Memang sangatlah tidak adil jika si pemilik dana
telah mengkontribusikan dana bersama mitranya sementara seluruh keuntungan diambil
mitra serta tidak memberikan sesuatu apapun kepada si investor.
Praktik
yang dilarang oleh Islam adalah pematokan imbalan pada awal secara tetap dan
pasti. Adapun return dan berbagi hasil, sangat dianjurkan. Oleh karena
itu, Islam membuka kesempatan yang sangat luas dalam bisnis melalui bai’
al-murabahah, bai’ as-salam, bai’ al-istishna’, al-ijarah, al-mudharabah,
al-musyarakah, al-hawalah, ar-rahn, al-kafalah, dan al-wakalah.[46]
(4) Pandangan
pelopor pemikiran opportunity cost, berbenturan dengan pertanyaan dasar.
Bagaimana kreditur dapat memastikan bahwa peminjam nyata-nyata memperoleh
keuntungan dan bukan kerugian atas investasi modal pinjamannya? Dasar apa yang
membuatnya beranggapan bahwa peminjam akan memperoleh keuntungan secara tetap
sehingga ia merasa berhak meminta bagian keuntungan secara tetap pula?
Bagaimana pula kreditur dapat meyakini bahwa peminjam akan selalu memperoleh
keuntungan setiap bulan atau setiap tahun sehingga ia dianggap akan selalu
mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?
Para
pendukung teori bunga tidak dapat memberikan jawaban yang rasional dan adil
terhadap masalah tersebut.
Di
samping itu, ada anggapan yang keliru bahwa jika dana diusahakan secara syariah
berarti opportunity itu akan hilang sama sekali. Seluruh skema
pembiayaan syariah, yaitu syirkah al-inan, syirkah al-mudharabah, syirkah
al-mufawadhah, bai’ as-salam bai’ as-istishna’, al-ijarah al-muntahiya
bit-tamlik, dan lain-lain, semuanya merupakan infrastruktur yang memberikan
peluang kepada kedua belah pihak untuk memetik keuntungan yang adil dan
proporsional.
(5) Adapun dari
teori kemutlakan produktivitas modal, timbul sebuah permasalahan, benarkah
modal selalu produktif? Kenyataannya, modal menjadi produktif hanya apabila
digunakan seseorang untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan. Bila
digunakan untuk tujuan konsumsi, modal sama sekali tidak produktif. Bila
digunakan untuk usaha produksi pun, modal tak selalu menghasilkan nilai tambah.
Dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanaman modal sering menipiskan
keuntungan. Dalam beberapa kasus malah mengubah keuntungan menjadi kerugian.
Jika
modal dianggap memiliki produktivitas, sebenarnya produktivitas tersebut
bergantung pada berbagai faktor lain. Penanaman modal yang dapat mendatangkan
banyak keuntungan bergantung pada mendatangkan banyak keuntungan bergantung
pada bagian produksi, riset dan pengembangan, marketing, keuangan, inventori,
demikian juga kemampuan, visi, serta pengalaman orang yang menggunakannya.
Belum lagi faktor kestabilan ekonomi, sosial, dan politik suatu negara.
Faktor-faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat
mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi,
keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut berubah menjadi
kerugian.
Mungkin
saja diakui bahwa modal memang memiliki potensi produktivitas sehingga pemilik
modal layak untuk mendapat bagian keuntungan. Akan tetapi, tidak ada cara untuk
mengetahui secara tepat dan pasti nilai potensi keuntungan yang adil, baik pada
saat stabil maupun krisis.
Dalam firman
Allah SWT disebutkan:
“… Dan, tiada seorang pun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan besok. Dan, tiada
seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati …”.[47]
(6) Paham teori
nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang juga
mempunyai kelemahan. Benarkah manusia menganggap kehendak masa sekarang lebih
penting dan berharga daripada keinginan pada masa depan? Jika demikian, mengapa
banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang, tetapi menyimpannya
untuk keperluan pada masa yang akan datang? Kenyataan menunjukkan bahwa banyak
orang menahan keinginannya masa kini demi untuk memenuhi keinginan masa depan,
padahal mereka tidak dapat menduga apa yang bakal terjadi pada masa mendatang.
Manusia mengupayakan berbagai cara untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera. Teramat sedikit fakta seorang yang
sehat sengaja mengejar kebahagiaan hari ini dengan mengorbankan kebahagiaan dan
kesejahteraannya pada masa depan.
Islam
sebagai agama yang sistem ekonominya diciptakan bukan oleh manusia, tetapi oleh
Allah SWT, Tuhannya segenap manusia, mengingatkan bahwa teori nilai waktu atas
uang sangatlah tidak adil.
Islam
sangat menghargai waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah
tertentu atau persentase bunga tetap. Hal ini karena hasil yang nyata dari
optimalisasi waktu itu variabel, bergantung pada jenis usaha, sektor industri,
lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik, produk yang dijual, jaringan
pemasaran, termasuk siapa pengelolanya. Oleh karena itu, Islam merealisasikan
penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan dan nisbah bagi hasil
yang semua pihak sharing the risk and profit secara bersama.
(7) Argumentasi
bahwa pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya
beli uang selama dipinjamkan memang sangat tepat seandainya dalam dunia
ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi saja tanpa deflasi atau stabil.
Demikian
juga, tidak boleh menutup kemungkinan bahwa dalam transaksi muamalah syariah
seperti bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, musyarakah, dan mudharabah
terdapat keuntungan. Tidak jarang keuntungan yang dihasilkan dari
transaksi-transaksi tersebut memiliki nilai return yang melebihi tingkat
inflasi.[48]
Lebih
lanjut ekonomi Islam memberikan dorongan untuk melakukan investasi dengan
jumlah yang lebih besar dan lebih banyak dari motivasi konvensional. Kalau
secara konvensional terdapat motif profit-taking dan inflasi, dalam
ekonomi Islam –di samping dua hal tersebut– ditambah lagi dengan adanya
kewajiban zakat dan larangan mendiamkan aset.
Pada
zaman Rasulullah saw. pun telah terjadi inflasi (seperti dianalisis dengan
sangat tajam oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim dalam kitab mereka: al-Hisbah
fil-Islam dan I’lam al-Muwaqqiin), tetapi Rasulullah tidak pernah
membenarkan pengambilan bunga pinjaman atas dasar faktor ini.[49]
E. Penutup
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa secara konsep ataupun praktik pengambilan bunga (rente, riba) tidak dibenarkan
dalam Islam. Riba dilarang karena mempunyai dampak yang negatif dari sisi
ekonomi Islam. Dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan
oleh bunga sebagai biaya uang. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula
harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Selain itu, dari sisi utang,
dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas utang tersebut dibungakan, akan terjadi utang yang terus-menerus.
Dampak
ekonomi riba ini pun mempengaruhi eksistensi dunia perbankan. Fakta empirik
yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan ribawi
sangat labil dan mudah sekali terserang problem Negatif-Spread.
Untuk
mengatasi kondisi tersebut, ekonomi Islam mendorong seluruh masyarakat untuk
melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sebagai konsekuensinya, demi
tercapai kondisi perekonomian pada umumnya, pengelolaan lembaga keuangan sesuai
prinsip-prinsip syari’ah sudah seharusnya menjadi sebuah kebutuhan, bukan
alternatif pilihan.
Analisa yang
dilakukan dalam tulisan ini berangkat dari teori pembenar riba, kemudian
dicarikan solusinya dalam perspektif ekonomi Islam. Hal inilah yang membedakan
dengan kajian-kajian riba lainnya. Yang ditulis penulis-penulis terdahulu
melihat dari sudut pandang fiqih, moral spiritual, agama dan historis serta
perspektif non muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktik, GIP, Jakarta.
Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang,
Tantangan dan Prospek, Cet. I, Alfabet, Jakarta.
as-Suyuti, Jalaludin Abdurrahman, 1983, al-Asybah wan Nadzair
Fi Qawaid wa Furu’ Fiqh asy-Syafiiyah, Darul Kutub al Amaliyah.
az Zuhaily, Wahbah, 1985, Ushul Fiqh al Islami, Darul Fikr,
Beirut.
Badr ad-Zinal-Ayni, 1310H, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari,
Vol V. Mathba’a al-Amina, Constantinople.
Chotib, A, 1962, Bank dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Dahlan, Abdul Azis, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta.
Departemen Agama RI, 1979, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam,
Pustaka Al Husna, Jakarta.
Hadi, Abu Sura’i Abdul, 1993, Bunga Bank dalam Islam, Usaha
Offset Printing, Surabaya.
Hatta, Muhammad, 1958, Beberapa Pasal Ekonomi, Balai Pustaka,
Jakarta.
Ibrahim, Taher, 1967, Pembahasan Ekonomi Islam, Marx dan Keynes,
Bulan Bintang, Jakarta.
Islahi, Abdul Azim, 1992, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah,
Longman, Kuala Lumpur.
Karim, Adiwarman Azwar, 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kasmir, 1999, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Lewis, Mervyn K, 1999, “The Cross and The Crescent Comparing Islamic
and Christian Attitude to usuary”, dalam IQTISAD: Journal of Islamic
Economics, Vol 1. No 1, Muharram 1420 H. April 1999.
Mannan, M.A, 1997, Islamic Economic, Theory and Practice,
Penterjemah. M. Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Qureshi, Anwar Iqbal, 1991, Islam an The Theory of Interest,
Muhammad Ashraf, Lahore.
Rahardjo, Dawam, 1988, “the Question of Islamic Banking in
Indonesia”, dalam Muhamed Arif (ed), Islamic Banking in South East Asia,
ISEAS, Singapura.
Rahman, Afzalur, 1996, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 3,
Penterjemah Soeroyo dan Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Reksodiprodjo, Soesatyo, 1996, Pengantar Ekonomi Bank dan Kredit,
PT Pembangunan, Jakarta.
Saeed, Abdullah, 1996, Islamic Banking and Interest: A study of
the Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, Ej Brill,
Leiden.
–––––––––––––, 1998, “Metodologi Ekonomi Islam”, dalam Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol 3 No 1, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1983, Issues in Islllllllllamic
Banking; selected paper, Islamic Foundation, Leicester.
Swasono, Sri Edi, 1988, “Bank dan Suku Bunga” dalam Kajian Islam
Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Hikmat Syahid Indah, Jakarta.
Tohir, Kaslan. A, 1958, Ekonomi Selayang Pandang, Vorkink Van
Hoeve, Bandung.
Zarqa, Mustafa Ahmad, 1959, Al Fiqh al-Islami Fii Tsaubihi al
Jadid: al-Mudkhal al Fiqh al-Aam, cet ke 6, Mathban-jamiah. Dimasq,
Damaskus.
Zulkifli dan Sulastiningsih, 1998, “Rerangka Konseptual Pelaporan
Keuangan dalam perspektif Islam” dalam Jurnal Akuntansi dan Auditing
Indonesia, Vol 2 no 2, Desember.
*Dosen Prodi Ekonomi Islam FIAI UII dan MSI
UII Yogyakarta, sedang menyelesaikan studi
Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[1]Zainul Arifin, 1999, Memahami Bank
Syari’ah, Alfabet, Jakarta, hal. v.
[2]Ibid, hal. vii.
[3]Abdul Azis Dahlan, 1996, Ensiklopedi
Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 1497.
[4]Kasmir, 1999, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 121.
[5]Kaslan A. Tohir, 1958, Ekonomi Selayang
Pandang, Cet. II, Vorkink-Van Hoeve, Bandung, hal. 308.
[6]Taher Ibrahim, 1967, Pembahasan Ekonomi
Islam, Marx dan Keynes, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 10.
[7]Badr ad-Zinal-Ayni, 1310 H, Umdatul Qari
Syarah Shahih al-Bukhari, Vol. V, Mathba’a al-Amira, Constantinople, hal.
436.
[8]Abu Sura’i Abdul Hadi, 1993, Bunga Bank
Dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 23.
[9]Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank
Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, hal. 44.
[10]Ibid.
[11]Kaslan A. Tohir, op.cit., hal. 307.
[12]Muhammad Hatta, 1958, Beberapa Pasal
Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 30.
[13]Kaslan A. Tohir, op.cit., hal. 307.
[14]Adiwarman Azwar Karim, 2001, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 137.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Taher Ibrahim, loc.cit., hal. 15.
[18]Kaslan A. Tohir, loc.cit., hal. 314.
[19]Ibid., hal. 315.
[20]Sa’d A.S. Harran, 1993, dalam Muhammad
Syafi’i Antonio 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, hal. 70.
[21]Ibid.
[22]Ibid., hal. 71.
[23]M.N. Siddiqi, 1983, Issues in Islamic Banking;
Selected Paper, Islamic Foundation, Leicester.
[24]Anwar Iqbal Qureshi, 1991, Islam an The
Theory of Interest, SH. Muhammad Ashraf, Lahore.
[25]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 75.
[26]Dawam Rahardjo, 1988, “The Question of
Islamic Baking in Indonesia”, dalam Muhamed Arif (ed), Islamic Banking
in South East Asia, ISEAS, Singapura.
[27]M. Abdul Mannan, 1997, Islamic Economic,
Theory and Practice, Terjemahan oleh Nastangin, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta,
hal. 165.
[28]Soesatyo Reksodiprojo, Pengantar Ekonomi
Bank dan Kredit, PT. Pembangunan, Jakarta, hal. 88.
[29]Muhammad Hatta, 1958, Beberapa Pasal
Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 36.
[30]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 37, lihat juga Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A
Study of The Prohibiton of Riba and Its Contemporary Interpretation, 1996,
Ej Brill, Leiden.
[31]Ibid.
[32]Ibid., hal. 43.
[33]QS. Ar Ruum: 39
[34]QS. An Nisaa: 160-161.
[35]QS. Ali Imran: 130.
[36]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 49.
[37]QS. Al Baqarah: 278-279.
[38]Muhamamd Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 51.
[39]Imam Bukhari, Sohih Bukhari Kitab al-Buyu,
hadis No. 2084.
[40]Lihat Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti,
1983, al-Asybah wan Nadzair fi Qadaid wa Furu’ Fiqh asy-Syafiiyah, Darul
Kutub al-Amaliyah, hal. 85
[41]QS. Al Baqarah: 173.
[42]”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapat keberuntungan”.
[43]Mustafa Ahmad Zarqa. 1959. Al-Fiqh
al-Islami fii Tsaubihi al-Jadid: al-Mudkhal al-Fiqh al-Aam, Cet. ke 6,
Mathbaa-jamiah Dimasq, Damaskus, dalam Muhamamd Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 59.
[44]Wahbah az-Zuhaily, 1985, Ushul Fiqh
al-Islami, Darul Fikr, Beirut, dalam Muhammad Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 70.
[45]Muhammad Syafii Antonio, ibid., hal.
70.
[46]Ibid., hal. 72.
[47]QS. Luqman: 34.
[48]Muhammad Syafii Antonio, loc.cit.,
hal. 76.
[49]Ibid., lihat Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn
Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, in Islamic Economic
Thought (Kuala Lumpur: Longman, 1992).